72 Tahun Indonesia
02.32
Panitia TBZ
0 Comments
02.32 Panitia TBZ 0 Comments
"Perjuanganku
lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri."
I.R.Soekarno,Presiden
1 RI
Sebuah makna
yang amat kompleks untuk dipahami dari untaian kata-kata bung Karno, namun serasa
lebih mudah dipahami bila melihat berbagai peristiwa yang telah maupun yang
tengah terjadi di negeri ini. Barang tentu akan terasa menggelikan bila melihat
kutipan tersebut dengan menengok realita yang ada saat ini. Apalagi dengan
melihat secara kuantitas umat muslim terbesar di dunia, sudut pandang akal
manusia pasti berkata, “harusnya bangsa ini lebih makmur daripada bangsa x yang
non muslim, yang harusnya lebih maju,sejahtera,dan yang inilah itulah”, dan
masih banyak lagi.
Padahal dengan
tegas bahwa dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirma yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka
sendiri” *. Menegaskan bahwa Islam
menghargai perjuangan, karena di dalamnya terdapat nilai usaha. Karena dari
sanalah berbagai gagasan muncul, beragam inovasi tercipta, dan berkobarnya
semangat beramal serta masih banyak lagi hal-hal positif lainnya. Meskipun
memang hal tersebut tidak merubah ketetapan Allah SWT. melainkan untuk mencapai
keridhaan-Nya.
Dan masih di ayat yang sama dalam kelanjutan
artinya adalah, “Dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Setelah sekian lama perjuangan dilalui, 72 tahun lamanya ini semoga bukan
berujung kepada suatu kehinaan yang nyata. Sebuah kehinaan yang mengantarkan
kepada kesia-siaan, akibat nafsu yang tak pernah terpuaskan, sehingga
hati,pendengaran, dan penglihatannya telah tertutup. Naudzubillahi min dzalik.
Maka jangan
sampai aliran doa terputus untuk bangsa dan umat ini, dan jangan sampai
kesombongan menguasai diri kita sehingga menggugurkan nilai perjuangan 72 tahun
bangsa ini, sebagaimana api nenghanguskan jerami. Ditegaskan dalam firman-Nya yang artinya, “Pada
hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina. (karena)bekerja keras lagi
kepayahan. Mereka memasuki api yang sangat panas” **. Sebuah muqaddimah memaknai sebuah
kemerdekaan dengan bermuhasabah menuju revolusi mental menghadapi zaman yang
wallahu a’lam akan sebaik atau seburuk apa nantinya.
Dikisahkan bahwasanya Usman bin
Mazh’um r.a di tengah-tengah kaum muslim yang tersiksa. Dia di dalam lindungan
Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang pemuka Quraisy, dia aman terhadap dirinya dan
hartanya karena perlindungan itu. Akan tetapi fenomena penyiksaan menyayat dan
melukai hati Usman. Dia ingin merasakan penderitaan seperti saudara-saudaranya,
dengan segala perasaan yang dibawa oleh mukmin yang sebenarnya.
Usman r.a berbisik dalam hatinya
bahwa dirinya berada dalam kondisi yang aman berkat perlindungan dari seorang
kafir sedangkan saudara dan keluarganya berada dalam penyiksaan yang justru
fisabilillah. Dia menganggap bahwa sebuah kekurangan besar dalam dirinya yang
masih bergantung pada manusia dan tidak mau berkorban pada pencipta-Nya, hanya
karena dia tidak ikut merasakan siksaan yang dialami mereka.
Lalu Usman menghadap Al-Walid bin
Al-Mughirah untuk mencabut perlindungan atas dirinya. Setelah melalui berbagai
perundingan, akhirnya mereka berdua pergi ke masjid untuk mengumumkan perihal
pencabutan perlindungannya dari Al-Walid. Begitu Usman mengembalikan
perlindungan Al-Walid kepadanya, langsung datang seorang musyrik dan menonjok
matanya sehingga menjadi lebam, sementara Al-Walid berdiri melihat di dekatnya.
Ketika dikatakan kepada Usman bahwa
matanya takkan mengalami seperti itu bila berada dalam perlindungannya yang
kokoh, dia menjawab “Demi Allah, mataku yang sehat ingin merasakan apa yang
dirasakan saudaranya karena Allah, dan sesungguhnya diriku berada dalam
lindungan yang lebih mulia dan lebih berkuasa daripada dirimu wahai Abu Abdi
Syams”.
Namanya adalah Usman bin Mazh’um,
sebuah hikmah pelajaran dalam memaknai kemerdekaan. Pertama, sebuah
kemerdekaan dalam arti yang lebih mendalam. Dia menjual raganya untuk mendapat
kemenangan abadi, pengorbanan yang tidak bisa dibayar oleh materi duniawi, dia
berhasil mengalahkan nafsu dan egonya, dia merdeka dari belenggu syaithan.
Kemerdekaan yang apabila dilihat dari segi kacamata akal manusia tak bernilai,
tetapi bernilai lebih disisi Allah SWT.
Kedua, berkaca dari kisah tersebut seakan
tak luput dari perhatian kita, bagaimana nasib saudara kita di Palestina. Maka
cara kita memainkan peran Usman disisni adalah dengan memaksimalkan mungkin hal
positif dan meminimalisir hal negatif mulai dari diri sendiri. Mengapa
demikian? Karena pondasi kita masih lemah, mereka (para thaghut) takut kepada
kita yang bersatu padu memiliki pondasi yang kokoh yakni ketaqwaan dan keimanan
dengan berjalan serentak. Membangun pondasi ideal dimulai dari diri sendiri.
Ketiga, dari Usman kita belajar bagaimana
memegang prinsip. Berpegang teguh pada pendirian meskipun diterpa cobaan berat.
Semangat NKRI ini yang perlahan agaknya mulai meredup coba kita nyalakan
kembali setelah merenungi kisah dari Usman tersebut. Berkat menyaksikan
bagaimana saudaranya yang mati-matian mempertahankan aqidahnya, akhirnya
terdorong juga dirinya untuk bertransformasi. Maka dengan melihat, membaca,
mencari, dan menghargai nilai-nilai keluhuran bangsa ini yang telah
diperjuangkan yang tentunya tak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka
takkan terbesit rasa ragu untuk membela tanah air ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
0 comments: